Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2025

Kepada Wanita Itu

Kepada wanita itu Ia yang sedang mencari lentera Kepada panasnya dirasakan Kepada surganya digenapkan Menghantarkan setiap hampa yang dirasakan Berkobarlah Untuknya, jiwanya Kuharap ia dengar panggil-Nya Jangan lawan otoritas-Nya Sebab indahnya apa yang dirasakannya Semua bermakna baik Hingga pada saatnya dirasakan Kembalilah nihil Untuknya, pesanku  "Konsepsikan sebagaimana semestinya, seharusnya" Tiada yang dilarangnya, Sebelumnya pada akhirnya di depan penghulu Pejabat-pejabat kotor Penguasa-penguasa keji Di udara Diracun, dilahap Kepadanya, untuknya, Dengar, wanitaku Tetaplah ada di pilihanmu Berjanji kepada kehendak bebasmu Yang apa dirasakannya Menjadi kehendak terikat Yang empunya moralitas budak  Apa harganya Hampa surganya 
Kenapa aku harus memberatkan banyak orang? Aku sering berpikir bahwa kenihilanku karena kesehatanku yang buruk adalah dosa yang paling sulit dimaafkan.  Aku khawatir,  Aku sering memberatkan pasanganku maupun bunda. Ayah? Entah. Ia sudah tak peduli dengan kehadiranku. Kehadiran yang selama ini hangat hanyalah debu. Maupun ada atau tidaknya, tak memberi dampak yang signifikan.  Aku sering mempertanyakan kembali pada diriku. Entah aku yang terlalu banyak menyalahkan orangtuaku, atau memang mereka yang jelas tak peduli. Sebab katanya, masalah "salah" atau "benar" hanya tergantung sudut pandang. Aku tak ingin memposisikan diriku sebagai korban apalagi ssbagai orang yang menyedihkan. Bukannya berpikir melankolis hanya menguntungkan di saat merasa biru? Mungkin dalam benak terdalam orangtuaku, mereka khawatir akan kesehatanku, tetapi karena keadaan yang buruk mereka pusing pasal dana. "Tuhan, kapan ya rasa nyeri ini berakhir?" adalah kalimat yang ingin kuucapkan...