Obituari Argo Ericko Achfandi Lewat Pandangan Dewi Justitia

Sungguh, anak itu belum pulang, dan tak akan pernah lagi pulang ke tempat yang sama. Ia meninggalkan tanda tanya besar tentang seberapa jauh hukum mampu melindungi hak paling dasar: "Hak untuk hidup, hah, apa?" Peristiwa yang terjadi di Jalan Palagan pada dini hari itu tidak sekadar mencatat sebuah kecelakaan lalu lintas. Dalam suasana yang sunyi, kematian Argo menjadi simbol dari suatu penimbangan: antara tubuh yang remuk dan kendaraan yang mewah, antara nilai manusia dan nilai materi. Manakah yang lebih Tuhan cintai?

Merujuk pada pemikiran Hans Kelsen, hak individu atas hidup merupakan kewajiban hukum bagi orang lain untuk tidak melanggar atau menghalanginya. Maka, ketika hak tersebut diabaikan atau dilanggar, sebagai konsekuensi: masyarakat harus belajar dari kejadian tersebut. Mirip seperti prinsip? "Jurisprudence."

Dalam konteks ini, kematian Argo mencerminkan kegagalan sistem hukum dalam menegakkan kewajiban pihak lain untuk melindungi positivismenya. Kealpaan dalam menjalankan kewajiban hukum telah memicu keretakan pada bangunan keadilan itu sendiri, menimbulkan pertanyaan mendasar tentang efektivitas hukum dalam menjaga keseimbangan antara hak dan tanggung jawab. "Apakah selama ini hukum hadir adalah bentuk kesengajaan bagi mereka yang berduit?" Tujuannya supaya? Kita taat, tidak berani bicara, mereka yang untung.

Dalam kerangka Dewi Justitia, ia berdiri untuk menjunjung prinsip keadilan yang tidak dapat ditukar dengan nilai material. Sebagaimana yang dipaparkan Hans Kelsen, "Kreditor memiliki suatu hak hukum untuk menuntut bahwa debitor harus membayar sejumlah uang, jika debitor diwajibkan secara hukum atau memiliki kewajiban hukum untuk membayar sejumlah uang. Pernyataan bahwa saya memiliki hak melakukan perbuatan tertentu, mungkin hanya memiliki makna negatif, yaitu bahwa saya tidak diwajibkan untuk melakukan suatu perbuatan." Keadilan tidak boleh menjadi barang yang dinegosiasikan sebab ia adalah kewajiban bersama yang harus ditegakkan demi menghormati mereka yang telah kehilangan nyawa.

                                                                     Vertin Thermal


                                                                    []

“Keluarga saya termasuk ke dalam golongan keluarga menengah ke bawah karena Ayah saya sudah meninggal sejak tahun 2014. Saat ini pekerjaan Ibu saya adalah seorang pengusaha kue dan pemasukan keluarga kami satu-satunya hanya berasal dari Ibu saya. Perjuangan saya sudah dimulai sejak kelas sembilan. Saya berharap menjadi Corporate Lawyer.” Begitulah bagaimana Argo memperkenalkan dirinya. Sayang, belum sempat ia mengicip angan tentang cita-citanya sendiri, perjuangan dia harus terhenti oleh tanda titik. Tiada lagi cerita tentangnya yang mampu ia ukir sendiri. Itu akibat motor vario-nya tertabrak BMW milik Christianto Pangaperta Pengidahen Taringan sehingga menewaskannya seketika. Titik tadi bukanlah akhir; justru awal baru bagaimana suara tentang dia digemakan oleh orang lain.

Momen pasca kecelakaan maut di mana memulangkan nyawa Argo Ericko Achfandi ke dekapan Tuhan dapat merefleksikan tingkat kepercayaan publik ke hukum Indonesia. Khalayak ramai berbondong-bondong mempertanyakan keadilan bagi si Miskin dan sang Berada. Tidak hanya di sosial media saja, dalam kampusnya—Universitas Gajah Mada—sendiri pun, berbagai tindakan berbela sungkawa digaungkan. Ratusan kalungan bunga diletakkan di bawah patung Dewi Justitia yang merupakan simbol tersendiri bagi fakultas hukum tempat Argo (sempat) menempa ilmu. Fenomena barusan membuat tercanangkan pemikiran: apakah benar hukum di Indonesia tidak begitu memuaskan?

Merujuk pada pernyataan Bambang Soesatyo di 20/5/2021: hasil survei Indonesia Political Opinion pada Oktober 2020 memperlihatkan angka ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia mencapai 64 persen. Tertinggi jika dibandingkan bidang lain, seperti ekonomi 57 persen, politik dan keamanan 51 persen, serta bidang sosial dan humaniora 50 persen.

Persepsi publik di atas membuat kita dapat sejenak merenungi apakah memang Dewi Justitia masih relevan digunakan sebagai lambang keadilan di Indonesia. Komentar tajam muncul mulai dari orang awam hingga seniman sekalipun, Nyoman Nuarta, contohnya. Ia menggambarkan hukum di Indonesia seharusnya direpresentasikan oleh hantu: seorang perempuan tiada wajah, sabit diangkat ke atas, rantai menjuntai nan melilit korban, serta timbangan diturunkan. Dialah yang dinamakan Devi Zalim. Patung yang berada di lobi galeri seni NuArt Sculpture Park. Nyoman Nuarta mengutarakan pedasnya kritik lewat, “Apa (keadilan) masih cocok dengan lambangnya? Kan sudah enggak cocok. Dewi Keadilan itu sudah enggak ada. Keadilan sudah pergi. Diganti yang hantu ini. Itu faktanya. Masalah keadilan, saya sudah tahu, rakyat kecil itu enggak akan pernah menang. Kepekaan kita terhadap rakyat kecil, orang tak berdaya, tambah diinjak lagi. Sekarang siapa yang punya uang, kesannya dia yang menang. Sampai kapan seperti itu?”

Pertanyaan besar tengah tergantung di kepala mereka-mereka yang memperjuangkan hak Argo buat mendapatkan keadilan. Apakah ia akhirnya bakal direngkuh Themis atau Zalim? Benarkah, mempelajari hukum sekarang cuma mendapat bayaran dikhianati oleh hukum itu sendiri? Mungkin bila tidak ditekan oleh berbagai pihak: kasus Argo cuma bakal ditutup oleh uang pertanda damai saja.


                                                                    Laksamana Adirga



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asterlayna Raespati

AYHNER VON EINAR.