Ironis Pendidikan di Indonesia. Ngeri!
PENGANTAR
Di era sekarang, kita dapat melihat banyak argumen yang bertolak-belakang. Ada yang bilang pendidikan penting, ada yang bilang tidak. Sebenarnya, kedua argumen ini selalu didukung oleh emosional pribadi yang membuatnya terlihat benar di mata publik. Menurut Wikipedia, pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Etimologi kata pendidikan itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu ducare, berarti “menuntun, mengarahkan, atau memimpin” dan awalan e, berarti “keluar”. Jadi, pendidikan berarti kegiatan “menuntun ke luar”. Setiap pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat dianggap pendidikan. Pendidikan umumnya dibagi menjadi tahap seperti prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan kemudian perguruan tinggi, universitas atau magang.
Jika diulas, artinya pendidikan tidak hanya menuntut suatu tabulasi-objektif, tetapi dengan adanya pendidikan juga menuntut manusia itu berpikir logis.
Berpikir logis merupakan cara berpikir yang runtut, masuk akal, dan berdasarkan fakta-fakta objektif tertentu. (Hadi, 2004)
KE-"GEGABAH"-an MASYARAKAT DALAM BERPENDAPAT
Bagi remaja, sosial media adalah hal yang sulit dijauhkan. Laporan We Are Social menunjukkan, pengguna media sosial secara global mencapai 4,7 miliar pada awal Juli 2022. We Are Social juga melaporkan bahwa pengguna media sosial rata-rata menghabiskan waktu di media sosial selama 2 jam 29 menit per hari.
Informasi-informasi yang diterima melalui aktivitas virtual tersebut, tidak menjamin adanya validitas. Sebab, dengan maraknya perkembangan tidak menutup kemungkinan meningkatnya angka kriminalitas.
Kembali pada poin awal, pendidikan juga memiliki peran aktif di era digital sekarang. Dengan adanya informasi yang masuk, pendidikan berperan untuk mengimplementasikan rasionalitas dalam bentuk nyata. Sehingga, jika hal ini terwujud manusia dapat berpikir dengan mempertimbangkan hal-hal yang akan terjadi, jadi manusia dapat menghindari informasi bodong yang diterima dari sosial media.
Masa remaja dianggap sebagai masa labil yaitu di mana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran lebih lanjut. (Hurlock, 1980)
Apa pun yang diterima di sosial media, bisa menjadi hal-hal yang ditiru oleh remaja. Sebab, pada masa remaja orang-orang akan mencoba hal-hal yang terlihat baru di mata mereka. Remaja akan selalu mencari hal-hal baru yang mungkin dapat dilihat keren oleh teman-temannya. Tidak hanya berakibat pada diri sendiri, tetapi remaja yang labil juga dapat mengakibatkan hal-hal buruk kepada sekitarnya. Misalnya jika ada konten yang tidak senonoh di sosial media, remaja yang belum menemukan jati dirinya akan ada kemungkinan untuk mencoba hal tersebut.
Nah, jika remaja tidak memiliki teori dasar terhadap suatu pemikiran, maka ia akan kesulitan untuk menentukan hal yang baik dan buruk. Sebab itu, sebenarnya jika ada yang memandang pendidikan hanya untuk peran tabulasi-objektif, maka hal itu tidaklah sepenuhnya benar.
LORONG GELAP MENUJU KESURAMAN
Ironisnya, jika kita melihat sekilas banyak sekali orang yang mendapatkan ranking, tetapi apakah yang mendapatkan ranking selalu mendapatkan edukasi mengenai rasionalitas dan logika yang cukup? Belum tentu. Jika kita buat perhitungan, misalnya 1 sekolah memiliki 20 kelas yang di mana 1 kelas memiliki anak yang akan mendapatkan 10 nilai teratas atau top 10 besar. Artinya, dalam 1 sekolah tersebut memiliki 200 anak yang mendapatkan ranking. Hal ini terjadi dikarenakan sistem ranking hanya mencakup nilai teratas, bukan berarti hal tersebut didukung pola pikir murid. Sistem ranking memang dapat mengkalkulasi sebuah angka, tetapi sistem ranking tidak akan pernah dapat menilai suatu pemikiran yang logis.
Mental kita dari kecil selalu dididik untuk membandingkan sebuah nilai. Di sekolah, Anda akan melihat teman-teman Anda selalu bertanya mengenai ranking. Tidak hanya itu, mereka juga akan bertanya kepada kelas lain mengenai soal ujian, lantas bertanya jawaban. "Hai, Bro, gue mau tanya soal ulangan sejarah gimana ya kira-kira? Gue juga minta jawaban, nih! Gue pengen dapet nilai bagus!"
Dinilai saja sendiri. Apakah mental seperti ini dapat membuat suatu pendidikan (terutama di Indonesia) menjadi merata? Jelas tidak. Mental kita yang selalu dididik untuk mendapatkan nilai justru mendorong sistem pendidikan ke dalam jurang neraka. Dapat dikatakan bahwa situasi saat ini jauh dari target nasional. Kondisi pelajar Indonesia masih jauh dari harapan akan terciptanya generasi yang mampu bersaing di kancah intelektual dan internasional.
Seperti dikutip dari BUNGA RAMPAI PENDIDIKAN INDONESIA: Tribute to Prof. H.A.R Tilaar, Taman Pembelajar Rawamangun, 2020, dengan adanya asas negara yang memegang tinggi budaya dan adat, seharusnya bisa menjadikan siswa Indonesia berbeda dengan siswa di negara-negara lainnya. Intelektual para pelajar di Indonesia seharusnya memang bisa jauh lebih ungguh dibandingkan pelajar bangsa lain.
Nah, sangat disayangkan jika kita tidak menggali pola pikir pelajar di Indonesia, 'kan? Akan tetapi, kita masih berada di lingkaran merah setan asal tidak remidi-lah yang membuat kualitas SDM kita terus-terus di bawah rata-rata. Inovasi dan kreativitas menjadi kunci utama peningkatan kualitas SDM di era globalisasi.
DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL
Dinamika ekonomi dan sosial yang terjadi saat ini membuktikan bahwa kreativitas dan inovasi memberikan pilihan, peluang dan dampak yang sangat besar pada peningkatan SDM (Suciu, et al., 2018).
Kembali pada poin awal, kita masih membutuhkan peningkatan untuk tetap berpikir logis sehingga dapat menciptakan kreativitas dan inovasi. Pola pikir yang logis-lah dapat membantu cara kerja otak kita agar memaksimalkan suatu tindakan serta menyelesaikan masalah. Ketika diberi ulangan, seharusnya kita memaksimalkan logika dan rasionalitas kita, sehingga dapat menulis jawaban yang kreatif dan logis di saat ulangan.
AKHIR KATA,
Zaman sudah berkembang ini bukan lagi saatnya kita masih terjebak di zona menjawab pertanyaan sekolah sesuai dengan materi. Kita harus dapat out of the box sehingga dapat menciptakan jati diri remaja yang tidak hanya asal menerima informasi yang masuk, tetapi juga dapat mengolah dan memberikan tanggapan sendiri. Sebab itu, kita membutuhkan idealisme dan kreativitas guna mengimplementasikan pembangunan negara yang maksimal. Ini bukan lagi saatnya kita hanya memandang tabulasi-nilai, melainkan ini sudah saatnya pelajar di Indonesia menciptakan inovasi baru.
***
Sekian, salam saya Thersia Phardeid. []
Komentar
Posting Komentar