Dunia Yang Tidak Adil atau Manusia Yang Tidak Bertindak? Cari Alasannya!

PEMBUKA

Umumnya, karya tulis non-fiksi berisi data dan juga penelitian. Namun, ada juga yang berisi opini atau argumen. Karya tulis non-fiksi tak selamanya mendambakan kata-kata yang borjuis, misalnya artikel. Oleh sebab itu dengan adanya artikel ini, penulis ingin menyampaikan gagasan mengenai emosi manusia. 
Artikel ini ditujukan kepada audiens yang ingin mengetahui mengenai sifat-sifat manusia yang terkadang tidak disadari. Tujuan dibuatnya artikel ini adalah agar dapat menyadari eksistensi manusia dan bagaimanakah keberlangsungan manusia secara emosional. 

TAUKAH KAMU?

Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk zoon politicon. Zoon Politicon merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh Aristoteles untuk menyebut makhluk sosial. Kata Zoon Politicon merupakan padanan kata dari kata Zoon yang berarti "hewan" dan kata politicon yang berarti "bermasyarakat". Secara harfiah Zoon Politicon berarti hewan yang bermasyarakat. Arti zoon politicon dikemukakan oleh Aristoteles yang berarti sebagai makhluk sosial, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia akan selalu bergantung kepada orang lain. 

Nah audiens, dengan adanya landasan dari Aristoteles sebenarnya kita sudah dapat menebak bahwa manusia akan selalu mengolah informasi yang mereka terima secara dinamis. Hal ini didukung oleh adanya kemampuan manusia untuk bersosialisasi kepada insan lain, sehingga manusia secara sadar maupun tak sadar akan melakukan penyesuaian. 

BEDEBAH! 

Manusia itu egois. Terkadang, semua yang dilakukan oleh manusia adalah untuk menguntungkan dirinya sendiri. Hal ini juga disebabkan karena di dunia ini ada yang namanya harga. Nah! Jika dihubungkan, harga ini dapat berupa apa pun, termasuk harga diri. Sehingga, manusia cenderung mencari apa pun yang dapat menguntungkan dirinya. Meskipun terlihat sedikit kapitalisme, tapi sayangnya itu memang warisan murni untuk manusia. Filsuf besar asal Britania Raya, Thomas Hobbes, memiliki pandangan tentang kerakusan, egoisme, dan mencari keuntungan merupakan warisan untuk manusia. Hobbes berpendapat bahwa manusia dalam dirinya akan ketakutan pada orang lain sehingga memilih untuk mempertahankan diri. Sebab itulah, manusia selalu berusaha untuk mendapatkan kebutuhannya dengan jalan konfrontatif.

Homo homini lupus, atau manusia adalah serigala bagi sesama, adalah adigium yang populer dari Hobbes. Manusia diakui sebagai makhluk yang tidak pernah berhenti untuk bertengkar dan berkonfrontasi demi memenuhi kebutuhan dirinya. Hingga pada akhirnya, manusia yang saling bertikai ini sadar bahwa jika mereka selalu bertikai, maka mereka akan merugikan diri mereka sendiri. Sehingga, mereka kemudian berkomunikasi pada sesamanya dan membuat kesepakatan untuk saling tidak menyerang, kesepakatan ini disebut sebagai kontrak sosial (Hadiwijono, 1980).

JURANG LEBAR MENUJU PENGHAKIMAN

Pertengkaran ini sayangnya terkadang lebih menyeramkan daripada sekedar pertengkaran fisik, dikarenakan adalah kecenderungan akibat dari sebab "manusia adalah makhluk sosial". Manusia yang saling terhubung justru membuat afeksi untuk saling mendominasi. Dorongan untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri merupakan hasil dari evolusi dan evaluasi manusia, sehingga saat manusia mulai dapat menemukan dirinya dan melakukan proses sosial ... manusia akan menerima nformasi baru. Sayangnya, tidak semua informasi itu adalah hal-hal positif. Dalam proses pencarian informasi, otak manusia akan memproses. Manusia memiliki kepribadian yang berbeda-beda, jadinya akan berbeda bagaimana cara memprosesnya per individu. Tiap-tiap individu memiliki jalan. Akan tetapi, sebenarnya manusia dianugerahi strata yang sama. Yang membedakannya hanyalah "bagaimana cara manusia memproses"? Akibatnya jika manusia tidak dapat menyeimbangkan kemampuan dalam dirinya, manusia akan cenderung berat sebelah. Sehingga, ketidakseimbangan inilah yang menyebabkan manusia akan berusaha berjuang mempertahankan harga diri. Tidak hanya itu, manusia cenderung menghakimi apa yang menurutnya benar jika sudah terbuai oleh emosi dalam benak. 

PANAS, PANAS, PANAS!

Pada motifnya, persaingan harga diri tidak hanya dapat berasal dari faktor internal saja. Akan tetapi, hal ini juga dapat berasal dari faktor eksternal. Kedua hal ini saling melengkapi. Jika manusia berada di lingkungan yang kurang tepat, maka tidak heran jika banyak aspek-aspek eksternal yang mempengaruhi, misalnya terprovokasi. Namun, manusia memiliki hak untuk memilih. Nah, pada akhirnya aspek internal dan eksternal ini memiliki pola untuk saling terhubung. Jika aspek eksternal (terprovokasi) ini diberi perisai oleh manusia yang sedang terkena dampak, maka aspek ini tidak akan berjalan. Karena, cara manusia dalam memproses sangat mempengaruhi tindakan manusia. 

Apakah hal ini tidak bisa diatasi? Tentu sangat tidak tepat. Manusia juga dianugerahi kemampuan untuk menyadari dirinya atau dapat disebut sebagai self awareness. Self awareness masih berhubungan erat dengan evaluasi diri, kata tersebut memiliki arti kesadaran seseorang terhadap proses berpikir serta kesadaran emosinya sendirinya. Adanya proses metakognisi mampu membuat seseorang bisa mengontrol semua aktivitas kognitifnya. 

Kesadaran seseorang terhadap kondisinya benar-benar akan mempengaruhi apa yang ia lakukan. Sehingga hal itu bisa mengarahkan individu tersebut untuk memilih situasi dan juga strategi yang tepat bagi dirinya sendiri di masa depan. Sebabnya, saat kita hidup tak selamanya kita dapat menyalahkan dunia. 

AWAM ATAU AWANG?

Bicara tentang menyalahkan dunia, tak selamanya kita dapat menilai bahwa dunia yang tidak adil. Jangan egois! Bangun ke dunia nyata! Tak selamanya dunia akan memahami tiap-tiap individu yang berbeda! Dunia ini luas. Ia akan selalu ada yang namanya pertengkaran serta kompetisi untuk merebutkan harga diri, jabatan, kekuasaan, maupun aspek lainnya yang berupa materi maupun non-materi—adakalanya didesain seperti permainan catur yang saling merebutkan posisi. Tidak selamanya kita yang harus menunggu, kitalah yang harus mengambil inisiatif, kitalah yang harus mencari posisi, dan kitalah yang harus berusaha mendominasi. Sampai kapan kita akan duduk manis di gubuk lusuh? Bukankah kita ingin mencari keuntungan? Kita bukan "awam", hanya saja kita masih berada di awang-awang ke-"VISIONER"-an sehingga belum dapat menemukan apa yang akan membuat kita keluar dari sifat egois ini. Belum bisa memperhitungkan arti kehidupan....

          Gambar 1.1 Ilustrasi: Debby Hudson/Unsplash

MENGELUH BERKEDOK "DOA-DISIPLIN-DIRI"

Tak jarang dari kita yang masih belum menyadari semua itu. Kesimpulannya, cobalah untuk menerima diri sendiri dan meningkatkan self awareness. Adakala kita harus dapat menerima bahwa "memang seperti inilah dunia berjalannya". Jika dikaitkan dalam hukum, ada yang namanya das sollen dan das sein. Das sollen disebut sebagai kaidah hukum yang menerangkan kondisi yang diharapkan. Sedangkan das sein dianggap sebagai keadaan yang konkret di depan mata. Nah! Terkadang dalam kehidupan kita kerap kali menggunakan "das sollen" hingga kita lupa bahwa masih ada hal konkret di depan mata. Implementasi ini memang sulit dilakukan, tapi kita harus sadar bahwa sebagai makhluk sosial semua yang sedang kita hadapi adalah sebab dan akibat.

AKHIR KATA, 

Sebab itu, sadarlah terhadap kondisi yang sedang dialami dan jangan terlalu mengharapkan. Yang harus bergerak itu kita, bukan dunia. Makhluk yang dinamis inilah yang dapat mengubah dunia. Dunia hanyalah objek mati yang dapat berubah jika ada variabel yang mencampurinya....

                Gambar 1.2 Ilustrasi: Boy Uendra Tamin
    

                                              ***


Sekian, salam saya Thersia Phardeid. []
        




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asterlayna Raespati

AYHNER VON EINAR.

Obituari Argo Ericko Achfandi Lewat Pandangan Dewi Justitia