Aku Cari Makan Modal Gila
“Berapa harganya, Mas?”
“30 ribu, Mbak. Kalau nambah minum jadi 35 ribu. Nasi ayamnya mau pakai sambal atau nggak?” Aku mempertimbangkan. “Nggak jadi deh, Mas, maaf.” Aku angkat kaki dari Warung Mas Mir meskipun dicurahkan oleh berbagai macam kelaparan hari ini, uang tak cukup. Sekarang waktunya harus kembali ke pengadilan. Sebab kasusnya berjalan hingga sore hari, jaksa harus menunggu pengacara yang sibuk adu mulut beretorika mengais validasi, sementara aku mungkin sibuk dengan kertas di atas meja tatkala dua argumen yang saling menghunjam satu sama lain. “Kak... Kak... Boleh tidak kalau Ani tawarkan bunga kepadamu, Kak?” Aku setengah terhenti, kaget dengan suara anak sekecil itu tetapi menunjukkan moralnya amat baik. “Ya?” Terpaksa, diri ini menoleh. “Kak, jualan bungaku tidak laku hari ini jadi daripada sia-sia sama sekali, mungkin Kakak mau ambil bunganya?” Ia sibuk merogoh tanganku, tubuhnya masih pendek. “Oh, iya? Berapa?” Aku meredupkan kakiku, jongkok. “Tidak. Gratis,”
“Tidak bisa begitu. Sekarang serba-serbi uang. Kalau begitu, boleh saya beri seadanya?” Langsung, uang bergambar Pak Frans Kaisiepo mendarat di tangannya. “Ambil saja, Dik. Mungkin cukup untuk beli nasi uduk di seberang sana.” Aku tersenyum kaku. “Terima kasih, Kak! Semoga berkah!” Ani tersenyum lebar saat bunganya telah berganti di tanganku. “Sama-sama, Ani. Ani namamu, ‘kan?”
“Iya, Kak! Ani pergi dulu untuk jagain Bunda, hati-hati...” Ani melambaikan tangannya, berbalik. Awan berlalu di atas, menyoroti individu yang berjalan, hiruk-pikuk kesibukan manusia tak membuatnya berhenti menyorot. Aku jalan ke depan simpang, mobil keluarga 2016 berlalu dengan pesat. “Woi! Hati-hati, Neng!” Sopir taksi membuka jendelanya dengan lekas menimpaliku yang seruan sebab menyeberangi jalan dengan gegabah; berakhir diabaikan. Aku tiba dulu di rumah Romi, teman seperjuanganku semasa kuliah di Brawijaya. “Kau tidak langsung kerja? Mampir dulu? Buang waktu?” Aku menghela napas, menggeleng. “Nggak, Romi. Aku lagi cari makan,”
Romi setengah heran. “Hah?”
“Iya. Mau numpang makan maksudnya.” Aku mempertegas. “Oh, keluargamu masih sama aja.” Romi langsung paham, menyuguhkan minum dulu, air putih. “Tidak juga. Mungkin salahku,” Romi ikutan menghela napas. “Terkadang aku juga ndak paham kenapa hakim bisa jadi kayak lulusan baru pada umumnya.”
“Apa yang tak mungkin?” Pandanganku fokus ke depan, kosong. “Nggak ada, sih, Vertin. Namun keadaan kau sekarang aneh. Apa? Mau gunakan inflasi lagi sebagai alasan?” Matanya melirik, saling tukar pandangan. “Tidak. Itu sudah klasik, kau bosan mendengarnya dariku, Rom.” Romi terkikik sejenak, yang awalnya berdiri di depan dispenser langsung mengambil nasi ke dapur, nasi uduk dengan khas semprotan jeruk kunci miliknya. “Kau mau makan kenyang berapa kali?”
Aku menghela napas, lagi. “Nanti saja, tidak sopan. Kenapa kau tidak ambil dua piring? Aku jadi kelihatan kayak kucing lagi malak ikan asin saja.” Romi mengangguk. “Ya, tentu, aku juga lapar nungguin sahabatku. Aku justru mengambil untukmu dulu agar aku lebih sopan.” Ia ke dapur lagi, mengambil piring lantas menimpali dengan porsi nasi uduk untuk dirinya sendiri. “Porsiku lebih banyak. Kau sama seperti kucingku, Vertin,” Romi kembali dengan nasi uduk yang di atasnya ditimpali dengan ikan asin. “Ikan? Ke mana kucingmu?”
“Iya. Itu yang lagi aku pertanyakan, Vertin. Si Jamal lari sekitar dua hari lalu ke arah institut teknologi di seberang, mungkin bosan karena aku tak pandai masak, sampai sekarang ia belum kemari. Ikan ini sudah dari dua hari lalu juga, tetapi sebab asin masih bisa dimakan hingga sekarang. Jadi aku saja yang makan.” Aku tersenyum tipis. “Sialan. Semua kucing sama saja.” Romi mengangkat satu kakinya, mengais nasinya menggunakan tangan kanan, mengunyah. “Ya? Kau berharap apa pada hewan bodoh.” Aku yang mengambil sendok lantas hampir memasukkan nasinya ke mulutku setengah heran. “Kau... Tak sesayang itu padanya?” Romi sibuk mematahkan tiap bagian ikan asin miliknya, nyaris menggorok daging si ikan demi siap disantap. “Bukan begitu, hanya saja jangan berharap pada hal yang emang sudah pasti. Itu yang diajarkan oleh dosenku di Brawijaya, namanya Pak Andi.”
“Oh, jadi kita beda dosen.” Romi melirik. “Kenapa? Bukannya itu klasik di jurusan hukum? Berbagai dosen sudah sering mengemas kalimat itu dengan berbagai majas yang beda, aku bahkan bosan. Namun berakhir dengan terngiang-ngiang di kepalaku.” Romi masih mengunyah fokusnya belum goyah meskipun harus bernostalgia dengan masa kuliahnya yang penuh dengan afirmasi positif dari teman, bisa dibilang Romi punya banyak relasi. Itu sebabnya aku selalu nempel dengannya, biar gampang kerja. “Iya, benar, mungkin aku saja yang alergi perubahan.” Dengan lekas ia berbahak, setengah tersedak. “Yang beneran aja! Sudah, sudah, habiskan dulu nasinya. Kebanyakan melamun, deh, lo! Galau terus. Kayak bocah baru puber aja.” Aku terpaksa tertawa, memasang mimik pura-pura terhibur. “Kalau iya kenapa?”
Sudah sekitar 15 menit makan sambil ngobrolin semua hal, termasuk bicara tentang lahan rumah tetangganya yang harusan ditanami mangga oleh tetangga di sebelahnya lagi sebab tak tahu, kami sudah kelar makan, makanan kami habis, lantas disusul dengan gelas air putih yang juga habis. Sekarang jam dinding mulai terasa menegangkan, setiap detik mulai terasa cepat dan membuat Romi sedikit cemas karena temannya belum kunjung datang. “Kenapa lama?” Ia sibuk melirik jam dinding seolah jika ditunggu terus-terusan akan mengubah fakta bahwa temannya belum datang. “Jakarta macet terus.” Romi mengabaikan tanggapanku. “Mereka bilang bakalan datang pagi.” Aku menyetel televisi.
Seorang anak remaja bun-
Skrtt! Romi menyambar remote-nya, mematikan televisi. “Baru tanggal dua sudah begini saja. Perlu adakan rapat lagi.” Aku berusaha menerka, belum bisa dapat maknanya. “Buat apa?”
Romi menggaruk kepalanya, mulai menyelonjorkan kaki yang kaku. “Tentu saja. Kita adakan sosialisasi buat mereka-mereka.” Aku mengusap dahi. “Yang serius-serius aja, Romi! Sudah sering. Mereka mana mau dengar...” Ia langsung membenamkan matanya, bosan dengan berbagai penyangkalanku. “Ya, sudah. Kalau begitu biar aku saja. Aku juga tidak menyuruhmu ikut.” Dasar. Ia adalah orang yang sangat praktis, bahkan aku merasa seperti tak dihiraukan. “Tapi... Kalau aku ikut emangnya dibayar?” Orang aneh di sebelahku langsung terbahak-bahak lagi. “Kenapa? Ada apa dengan redaksi hari ini? Uangmu habis kenapa lagi? Kau belum jawab pertanyaanku tadi, ya?” Wajahku langsung setengah masam. “Tidak. Sumbangan saja. Tadi ada anak jualan bunga, tidak laku, jadi kusumbangkan sepuluh ribu saja. Masih ada sisa lima belas ribu. Aku nyaris angkat kaki dari warung sebab tak cukup lima ribu, aku oportunis sejati jadinya ke rumahmu.” Dia tampaknya sudah paham. “Oh, masalah gampang. Tetapi kau tak akan dapat dari sosialisasinya. Ada kerjaan tambahan. Deal, ‘kan?”
“Tentu. Kita lihat besok. Oh ya, siapa temanmu yang belum datang? Kalau aku kenal, aku bisa memanggilnya melalui handphone-ku.” Ia langsung tersentak, bergegas. “Lista namanya. Lalu... Rico.” Aku membesarkan bola mataku. “Loh? Itu juga temanku,” Sejenak tersenyum tipis. Kelang lima menit aku gunakan untuk menelpon Lista, karena aku tau ia tak bisa menyetir, pasti Rico yang gunakan kendaraannya. “Kebetulannya...” Ujarku sambil menepuk paha, pelan. Romi nyengir, mulai bahagia dengan berbagai macam bayangannya sebab harus mengais rezeki demi sesuap nasi. “Ternyata kau tak sekudet ceritamu sebelum-sebelumnya. Sebab itu tenang saja. Mereka pasti sohibmu, Ver, jadi kau bisa tak perlu kaku lagi. Oh ayolah, bahkan tadi mau makan aja masih kaku,” Sejenak menggeleng. “Bukan bermaksud begitu, Romi, memang kebetulan saja lagi hilang akal. Umumnya manusia seumuran aku sering hilang akal kalau lagi tak ada kerja. Maklumi saja...”
Dua puluh menit menunggu, tidak ada lagi yang kami harapkan selain menghindari janji manis dari Lista dan Rico untuk datang kemari. Mulai terdengar gemuruh dari mobil dengan tampak depan seperti kodok, warna hijau, milik ayahnya Rico. Mereka mulai masuk ke lorong untuk parkir, sebab lorong yang tidak sempit mereka hanya butuh sebentar untuk merapatkan mobil dengan ruang kecil yang tersedia. Lista yang ada di dalam mulai siap bertanya pasal jam terbang. “Rico. Jangan buang waktu lagi. Kebetulan saja tadi kita mencari flashdisk-mu yang entah ke mana dimakan peradaban. Aku yakin Romi bukanlah orang yang bisa menahan rasa bosan dengan gampang. Jika kamu turun dari mobil katakmu ini dengan berlama lagi, ia makin jenuh, mungkin menghabiskan banyak puntung rokok lagi. Atau tembakau?” Lista dengan tatapan tajamnya yang khas melirik Rico. Dengan gelagatnya yang santai, Rico sibuk melepaskan kunci mobil yang susah karena mulai kasar sebab mobil keluaran lama. “Tidak, ia tak merokok, bahkan mungkin tembakau adalah musuh utama Romi. Sejak SMA Romi paling tidak bisa jadi perokok pasif, apalagi aktif.” Rico akhirnya berhasil melepas kuncinya yang dibarengi oleh gantungan kunci berisik. “Aku baru ingat kau sudah kenal dia sejak SMA, sebab kejadian di hujan itu,” Lista menghela napas. “Tidak. Bukan itu. Itu adalah pertemuanku dengan Vertin. Masalah katak dan kopi, ah, malasnya. Namun nanti saja, Lista, ayo turun.” Lista mengangguk, membuka pintu sebelah kirinya, turun dengan sepatu coklat yang menginjak tanah. Rico mengantongi kuncinya lantas turun, menutup pintu. Aku yang duluan menanggapi suara pintu mobil keluaran agak jadul yang terbuka, tetapi justru aku terbalap oleh lesatnya seruan Romi. “Oi! Rico!” Ia bergegas. Lista menimpali, sekaligus klarifikasi. “Maaf. Bukan karena hal tak yang penting, flashdisk-nya harus kami cari dulu. Sebab bukan hanya butuh misi tak jelas seperti pelaku yang ada di TV-TV, kami juga butuh data, termasuk dari laman sensus penduduk.” Aku mengangguk. “Tidak masalah meskipun Romi banyak ngomel dari tadi, tetapi kumaafkan karena aku diberi makan.” Romi jengkel. “Tau gitu gak gue kasih makan, lo, Ver!” Aku terkikik sejenak. “Tidak. Bercanda saja. Satu hal, Rico... Lista... Aku ikut kalian. Masalah data, aku rasa dalam flashdisk kalian hanya data tambahan. Tak perlu itu semua. Sebab dalam pengadilan nanti pasti dibacakan relaasnya. Kita bisa analisis secara scaling. Maksudku, kita secara besar-besaran yang terlihat saja.” Romi menambahkan jawaban. “Iya. Bahkan sensus penduduk? Aku kaget sedikit, Rista. Ingin menganga rasanya. Namun aku tak boleh menghakimi dulu. Jadi, apa niat kalian sampai pakai sensus?”
Komentar
Posting Komentar