"Menyapu" Aku Reinkarnasi, Ingin Bersih
Sapu yang terus kudayung tak punya makna untuk disodorkan pertanyaan tak bermutu, "Apa Bunda bakalan pulang? Kapan?" percayalah, bahkan lebih cepat waktuku 'tuk meninggal sebab kafein ketimbang Bunda akan pulang. Aku selalu ikhlas untuk menyapu lantai-lantai rumah ini yang penuh dengan kiblat manusia bajingan. Aku mengerti dan aku yakin Tante pasti asing akan hal itu. Ia adalah manusia antik yang hanya akan membersihkan rumah ketika ada event-event tertentu. Rumah ini luas, 3 lantai. Bayangkan jika aku tak menyapu setiap hari, seberapa banyak mimpi-mimpi yang patah di tiap tangga yang ditumpuk? Rasanya aku ingin keluargaku menyadari setiap mimpi buruk yang telah kusapu keluar dan telah kubuang. Setiap debu-debu itu telah dikaruniai gelombang-gelombang maut. Keluarga ini sangat mempercayai dogma-dogma konservatif, nyatanya. Alasan mereka hanya menyapu pada saat-saat tertentu ialah: konon katanya dalam rumah ini ada penunggu yang akan marah ketika rumah disapu. Percayalah, aku sama sekali tak membantah itu, namun setidaknya pikirkanlah apa yang terjadi jika aku tak menyapu sama aekali. Justru rumah ini akan menjadi sarang hantu lebih banyak.
Rumah ini sungguh mengerikan bagiku! Bayangkan saja bagaimana jadinya jika aku apatis terhadap segala kilauannya, setiap teror mencekam ini mengunci hati dan jiwa yang penuh mimpi. Rumah ini bak rumah hanti dengan segala deruhan sayu patah mimpi manusia. Pohon beringin di luar menyayat sayap putih tak berdosa. Jika aku yang benar dan maka ia yang salah, ini adalah tugasku sebagai tuan rumah untuk mengusirnya. Namun sebab aturan tak beralasan aku tak boleh mengusir mereka. Jiwaku telah merumpuni kebencian pada generasi-generasi sebelumku dalam rumah ini. Tak heran aku jadi segan menegur tabiat yang mencekam, menganiaya. Jiwa ini hampir kandas di tengah tubuh yang cengkar. Aku tak mau lagi menemui orang-orang itu, entah siapa pun. Mereka kacung. Tubuh ini hendak dibasuh, dibersihkan. Aku telah keracunan banyak hal dalam rumah ini. Terisolasi dan aku tak pernah menjadi burung yang terbang bebas. Sayap-sayap ini terluka dibabat habis berhenti di atas pohon beringin.
Jika aku boleh berteriak, "Tuhan ini menyakitkan...rasanya sesak...." sungguh membuatku mantap. Rumah yang lusuh dikerumuni semut sebab manisan yang nahas tidak terurai, sial aku mati di perempatan jalan. Besar kemungkinan tubuh ini kopong membusuk. Wafat berlaju lebih cepat dibandingkan sapu yang kuayun, Bunda tak pulang, Kakak kurang gaji, Tante komplikasi, Ayah pengangguran, Kakek meninggal, dan aku dipenggal. Ah, sial. ***Telah terlahir kembali aku sebagai janin yang menghakimi banyak orang.*** Sirine berkejaran, sementara aku menyalakan box musik jadul, aku menghentikkan jari. "Keuntungan sepuluh juta, skakk!!" aku menampar mejaku. Handphone milikku tiba-tiba nyala menunjukkan notifikasi yang baru saja diterima, "Seseorang mencarimu, Nak..." pesan dari Ayah. Ia langsung menelponku. Ketika obrolan dalam jaringan ini telah dimatikan Ayah, aku yang memahaminya justru merasa jijik. "Ah, sial. Tak sepadan denganku." seseorang yang jelas kukenal di masa lalu mencariku melalui Ayah. Tuhan...aku ingin hidup dengan sejuta ketenangan, sungguh. Ketika orang itu mencariku, aku sudah dengan 180° menggeleng kepala, NO! Dia bersikeras. Pria bajingan, pengangguran, ah, ADIDIDIDAW!! Belada semburan naga!! Aku benci dia: dia tau rumahku. Tumbuh dan berkembah di rumah seperti ini hanya menbuatku tak bisa menunjukkan "uang muka sebuah pertumbuhan" dan nasib yang sial tak ada yang dapat memilih ia ingin tumbuh dan lahir di mana. Namun yang jelas kalau boleh jujur aku ingin terlahir kembali menjadi burung yang putih bersih. Aku tak ingin menyentuh lumpur. Dan pun aku menyentuh lumpur, aku ingin menjadi sekuntum anggrek hitam yang menyayat setiap debu-debu yang ada dalam lumpur.
Kau tau ku tau seberapa beracunnya dirimu untukku. Box musik dalam kamarku melantuni tiap dosa-dosa yang kau perbuat. Akulah anggrek hitam yang ingin menyapu dosa-dosamu. Mimpiku untuk tumbuh menjadi burung putih bersih telah patah berkeping-keping dan aku terlahir kembali menjadi anggrek hitam. Akulah sekuntum mesias yang berkali-kali lahir dengan memegang sapu di tanganku. Aku gagal membuat gubuk ini berkilau namun setidaknya aku akan tumbuh dan berkembang sendiri melampaui yang aku mau. Tidakkah anggrek hitam menyadari bahwa ia adalah anggrek yang bewarna hitam? Aku kembali bereinkarnasi.
Siapa kau modal sejuta kerinduan mencoba menembus tembokku. Setiap perasaan itu akan hancur berkeping-keping lantaran aku tak terikat perasaan itu. Mimpiku diukir oleh sejuta prinsip yang menggorok keuntungan. Alam ini memang dahsyat. Hujan yang mengguyur rumah ini membuat lantai licin. Aku menuai apa yang diberikan oleh yang lain. Lantas ketika kau berhadapan denganku, aku tak ingin menuai sesuatu yang buruk sebab burukmu itu. Kau tau...sama seperti aku menyapu rumahku. Biarkan kita wafat sendiri-sendiri. Mati!!! Mati!!! Mati!!! Mati sendiri-sendiri. Rumah ini tidak dijual, tak terima interupsi darimu. Aku gadai cinta dan perasaanku demi segepok uang dibayar di muka. Emas. Surat berharga. Selamat malam...
Panjang umur...
Turut berduka...
Komentar
Posting Komentar