Ah.
Ngomong-ngomong, tak ada yang bisa dibanggakan dari diriku. Masih pas-pasan, belum jadi manusia, dan belum bisa kembali pulang kepada mana tempat seharusnya. Orang lain lebih lihai daripada aku. Setidaknya meskipun mereka bodoh, mereka punya badan apik untuk menjilat laki-laki di sana. Aku? Yang ada bakal dicerca. Kalau aku tak memaksa diriku malam ini, meskipun jantungku lemah, leherku desak-desakan bergelut dengan obat, lantas aku dicelucuti kantuk dan nyeri dada pasca minum obat, masa depanku bisa hancur. Aku lebih memilih mati karena obat tetapi setidaknya aku berusaha, ketimbang aku mati tapi tak melakukan apa-apa. Setidaknya aku hidup dalam kerja kerasku.
Aku tak cantik.
Tak jua pintar.
Tak juga punya hak distribusi istimewa.
Aku tak punya Ayah kaya raya yang dapat dibanggakan, sebagaimana putri dari cerita fiksi dituliskan.
Aku adalah aku. Si tunggal yang akan mati karena obat. Aku dapat diracun di mana saja. Bahkan ketika dokterku memberikan resep palsu.
Ah.
Entah ke mana malam bawaku pergi. Muntah? Tak tidur? Hilang ingatan? Delusi? Bergelut dengan suara abstrak? Terserahlah. Mereka memang pengganggu. Semoga duniamu kiamat, selamat. Kau tau? Aku tak punya teman untuk menjadi seseorang yang manja, omong-omong. Ibu bilang aku tak boleh forsir malam ini. Entah bagaimana caranya, kepalaku lagi-lagi berat. Hingga, aku perlu menunggu berapa menit lagi mereguk asam? Ya, asam. Atau bahkan kandungan orang yang bisa meredam nyeri. Beberapa obat mengandung kafein, terutama jika obat sakit kepala. Tetapi orang sepertiku justru sakit kepala kalau terlalu banyak kafein. Maka dari itu, aku cukup selektif dalam membeli obat. Makanya, aku membeli asam mafemanat. Meskipun sekarang sudah tak berpengaruh apa-apa, sial. Maka dari situ, bom waktunya meledak. Ini saatnya aku mereguk salut selaput, obat pasca-operasi.
Komentar
Posting Komentar