Genji Kensleinch

Ketika lonceng malam berdentum tiga kali, di ujung barat kota, tempat reruntuhan istana tak lagi dijaga tentara; aku bangun. Sudah waktunya aku berbicara dengan sunyi. Sudah waktunya aku menyapa diriku yang tak lagi kuingat.

Adapun dahulu kala, di tempat yang tak dimaktubkan dalam peta, aku dilahirkan dari silsilah yang terlalu rumit untuk dibaca. Namaku Genji Kensleinch, pewaris gelar yang kini hanya mengisi catatan kelurahan dan sebutir cap dalam buku warisan. Aku tak lagi tahu, apakah aku putra atau sekadar hantu dalam parade bangsawan yang terhapus dari sistem data negara. Aku ingin bilang kalau... Struktur keluargaku telah hancur pasca perang nuklir...

Ya! Sudah lama, maka sekarang sebagai sisanya: dihiasi gemerlap perjanjian dagang, perjamuan antar-militer, dan siaran langsung yang menyamarkan kehancuran sebagai statistik. Hasilnya, kotaku sekarang dijatuhi lebih banyak kebijakan daripada peluru. Mungkin, ya, karena ingin menghindari pemberontakan seperti itu? Jadinya aturan lebih diketatkan.

Dan di tengah reruntuhan itulah silsilahku terbakar. Lukisan moyangku yang menggantung di ruang tengah kini tinggal abu yang diendus anjing jalanan. Surat tanah kami, dicuri oleh panitia pendataan ulang. Gelar kami? Tak berlaku di sistem komputerisasi kewarganegaraan. Aku, yang dahulu dipanggil putra marquis, aku hilang di antara tubuh rakyat yang terbakar!! Ah...

"Aku dituliskan dengan huruf kapital semua, yakni?! Tanda bahwa aku tak lagi punya tempat dalam ejaan LAMA."

Maka berdirilah aku di antara puing-puing. Setengah manusia, setengah memoar yang tak diterbitkan. Aku belajar menunduk supaya aman, supaya tidak dianggap sebagai pewaris "kiri". Karena aku? Hasil dari keluarga yang ikut campur dalam pemberontakan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika tubuhku harus koyak 5.000 kali dan pada akhirnya menjadi debu dalam makamku sendiri. 

Aku mencintai kalian...

Duhai malam, malam... Di mana kini tempat bagi seorang lelaki yang tak punya lagi silsilah dan mirisnya? Aku merasa terlalu "beban" untuk disebut sebagai "RAKYAT"? Maka? Sebut saja aku pendosa!

Aku mencoba hidup, sungguh. Menyewa kamar dengan jendela kecil dan ranjang dari logam yang mendingin cepat. Aku mengenakan pakaian buatan pabrik. Aku antre jatah nasi di dapur umum. Aku bekerja dalam proyek restorasi yang dibiayai asing. Aku mencari seseorang yang mau menghapus rasa bersalahku. Sekarang sudah hancur, kan? Dan ya, aku masih merindukan keluargaku, meskipun sebagiannya aku marah kepada mereka. 

"Kenapa?" MEREKA BODOH!! JIKA MEREKA MASIH ADA SEKARANG, AKU INGIN BILANG KALAU, "AAAHHHH!!!!! CUKUP, TAU? KENAPA KALIAN IKUT TERGABUNG KE ORGANISASI YANG MEMBAKAR RUMAH WARGA, YANG MERAMPOK HASIL PANEN WARGA? DAN KALIAN JUGA MENJADI SEPERTI ITU? KEPADA RAKYATKU? SEKARANG, KALIAN HANYA MENGINVESTASIKAN RASA BERSALAH KEPADAKU!! AKU SAYANG RAKYATKU..." 

Karena masyarakat ini, wahai sunyi, tak benar-benar percaya pada rehabilitasi. Ia hanya menyukai cerita sukses yang cepat, bersih, tanpa cela. Dan aku bukan cerita. Aku luka yang ditulis terlalu panjang. Mereka ingin melupakanku. Maka aku menulis.

Aku menulis karena tak ada yang mau mendengarkan. Sejarah resminya mencatat hal-hal yang bisa dijual, bukan hal-hal yang benar. Mereka membenci apa pun yang mengingatkan bahwa dunia ini tak hanya dibangun dari harapan, tapi dari puing, debu, dan nama-nama yang dihapus dari daftar hadir.

Aku hanya ingin dikenang. Walaupun mereka tidak tahu cerita aslinya? 
Aku bilang... Ini cerita yang baru saja dikemas sebab aku palsu. Aku telah tiada....
Temanku yang menulisnya. Oh, aku seperti Gregor Samsa, ya. Atau jangan-jangan aku adalah dirinya? Hahaha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asterlayna Raespati

AYHNER VON EINAR.

Obituari Argo Ericko Achfandi Lewat Pandangan Dewi Justitia