Obituari Argo Ericko Achfandi Lewat Pandangan Dewi Justitia dan Devi Zalim
Maka di hari kematianmu, kami berdiri di hadapanmu, Argo Ericko Achfandi, dengan mata tertutup dan pedang tertancap di bumi yang tak kau pijak lagi. Kami ingin namamu sejati terukir dalam sidang terakhir. Jika memang ini adalah jalan yang terbaik, jangan lupa kabarkan kami seberapa berharga karangan bungamu di alam baka? Berapa harganya? Bagaimanakah kualitasnya dibandingkan yang di bumi? Di jalan Palagan, senyampang senyap ketika tubuhmu terbaring diam, Tuhan sedang menimbang antara mobil dengan polusi termahal semuka bumi dan sepeda motormu yang remuk. Manakah yang lebih Ia sayangi? Yang akhirnya terpilih untuk duduk disamping-Nya? Betapa polosnya tangan itu, nadimu yang berdenyut kaku, tidakkah dirimu merasakan takut?
Dengan segala hormatku, dalam terang Tuan Kelsen, hak yang kau miliki atas hidupmu adalah kewajiban hukum yang dipikul oleh orang lain untuk tidak melukaimu. Aku akan menggantikannya bagimu di alam baka. Remukmu itu juga sebagian dari remuknya hukum yang gagal kuperjuangkan untukmu. Atau juga? Sepuluh dikali semiliar dosa semua umat manusia?
Maka aku, yang biasa mereka sebut "Dewi Justitia" tidak menerima uang, tidak bersalaman, tidak menangis dalam konferensi pers. Aku tidak tahu rasa damai jika ia datang dengan lembar rupiah. Aku hanya tahu bahwa aturan hukum adalah rantai yang mengikat satu sama lain, dan jika satu putus, seluruh komponen yang kami ciptakan akan berderak. Dalam diam ibumu, aku mendengar sirine nyaris sama seperti? Doa-doa yang berbalapan satu sama lain ... mengejarmu untuk memperoleh keabadian di alam sana.
[]
Entah mengapa kalangan berada dan mereka pemangku kuasa selalu dipandang semacam alien dari lain dunia. Kasusmu didengar beribu telinga, tidak akibat spesial-spesial amat, melainkan karena BMW dan Vario terlampau jauh harganya. Christianto Pangarapenta Pengidahen Tarigan; jangan takut sandang julukan tersangka. Pikirkan saja bagaimana baju oranye yang melekat di tubuh kamu sekarang begitu murah ketimbang pakaian-pakaian kamu di lemari. Mencelakai bukan berarti membunuh. Tidak perlu merasa bersalah. Masa depan masih dapat ditalangi: buktinya status kamu sebagai mahasiswa Universitas Gajah Mada masih aman saja, ’kan?
Mau bagaimanapun, duka paling tiba-tiba ialah kematian tanpa praduga. Sungguh dahsyat ketidakikhlasannya. Pantas memantik kemarahan. Ingin korban sudah merancang masa depan begini-begitu tetapi semua rencana tetap terikat pada keterbatasan manusia di hadapan kehendak Yang Maha Kuasa. Tetap: meskipun semua jari telah menunjuk ke satu arah tetapi penghakiman dunia tidak bakal mentok pada hitam dan putih saja. Dukungan dapat diakali. Paling-paling membludak di awal, menyurut setelah tergantikan nan digeser topik panas tiada penting, lalu sama sekali nihil. Nama korban seperti semilir angin yang lama kelamaan menghilang. Walaupun Ibu itu ditinggalkan tetapi siapa yang terlalu peduli, benar? Kompensasi sudah lebih dari cukup hadirkan rezeki. Rasa kasihan pun pastinya menguntungkan. Usaha kuenya pasti meroket tinggi setelah musibah.
Hukum di Indonesia tidak seagung Themis. Lebih sering ia dirupakan menjadi aku: perempuan dengan tujung tak berwajah, sabit dipamerkan ke atas, serta timbangan diturunkan. Devi Zalim. Kelalaian kamu akibat kelelahan, meskipun melayangkan nyawa, pastinya bakal diberi keringanan tak sepenuntut jaksa. Belasan tahun menurun, menurun dan menurun. Lekaslah bebas sembari hirup udara diiringi kebas. Berkendaralah kembali dengan kecepatan di atas rata-rata, ganti pelatnya, dan barulah injak rem saat menabrak keadilan.
Komentar
Posting Komentar