Postingan

Kepada Wanita Itu

Kepada wanita itu Ia yang sedang mencari lentera Kepada panasnya dirasakan Kepada surganya digenapkan Menghantarkan setiap hampa yang dirasakan Berkobarlah Untuknya, jiwanya Kuharap ia dengar panggil-Nya Jangan lawan otoritas-Nya Sebab indahnya apa yang dirasakannya Semua bermakna baik Hingga pada saatnya dirasakan Kembalilah nihil Untuknya, pesanku  "Konsepsikan sebagaimana semestinya, seharusnya" Tiada yang dilarangnya, Sebelumnya pada akhirnya di depan penghulu Pejabat-pejabat kotor Penguasa-penguasa keji Di udara Diracun, dilahap Kepadanya, untuknya, Dengar, wanitaku Tetaplah ada di pilihanmu Berjanji kepada kehendak bebasmu Yang apa dirasakannya Menjadi kehendak terikat Yang empunya moralitas budak  Apa harganya Hampa surganya 
Kenapa aku harus memberatkan banyak orang? Aku sering berpikir bahwa kenihilanku karena kesehatanku yang buruk adalah dosa yang paling sulit dimaafkan.  Aku khawatir,  Aku sering memberatkan pasanganku maupun bunda. Ayah? Entah. Ia sudah tak peduli dengan kehadiranku. Kehadiran yang selama ini hangat hanyalah debu. Maupun ada atau tidaknya, tak memberi dampak yang signifikan.  Aku sering mempertanyakan kembali pada diriku. Entah aku yang terlalu banyak menyalahkan orangtuaku, atau memang mereka yang jelas tak peduli. Sebab katanya, masalah "salah" atau "benar" hanya tergantung sudut pandang. Aku tak ingin memposisikan diriku sebagai korban apalagi ssbagai orang yang menyedihkan. Bukannya berpikir melankolis hanya menguntungkan di saat merasa biru? Mungkin dalam benak terdalam orangtuaku, mereka khawatir akan kesehatanku, tetapi karena keadaan yang buruk mereka pusing pasal dana. "Tuhan, kapan ya rasa nyeri ini berakhir?" adalah kalimat yang ingin kuucapkan...

23

23.08.2024. Aku ini sudah mengembara jauh. Hingga penghujung bumi, kugapai dengan kaki lecet, lebam, diikat besi pemberat hingga darah mengalir karena bergesekan dengan aspal panas. Hatiku terkunci dengan siasat, murka, dan dengki. Aku ingin tumbuh lebih baik, kau tau? Aku ingin menjadi sepertinya, menjadi pemenang, lantas mendapatkan rekognisi. Mana giliranku? Aku itu mual, mual.... Sakit dadaku setiap hari harus menanggung asap yang mengepul. Paru-paruku sudah rusak, busuk, tengik. Paru-paruku kotor sekali memendam dendam. Sebentar lagi aku pasti mati dimakan persepsi, iri dengki. Terkadang aku ingin bertanya. Kenapa harus dia? Kenapa tidak aku saja? Kan aku yang jelas lebih berusaha? Aku ini kan yang lebih berambisi? Kan aku yang lebih jenius? Kan aku yang lebih berbakat? Kan aku yang lebih pandai mencari pekerjaan di usia muda? Kan pikiranku yang lebih rasional? Kan aku yang lebih cantik? Kan aku yang lebih sempurna? Kan aku yang lebih berkarisma? Kenapa orang lain? Kenapa tidak ak...

Obituari Argo Ericko Achfandi Lewat Pandangan Dewi Justitia

Sungguh, anak itu belum pulang, dan tak akan pernah lagi pulang ke tempat yang sama. Ia meninggalkan tanda tanya besar tentang seberapa jauh hukum mampu melindungi hak paling dasar: "Hak untuk hidup, hah, apa?" Peristiwa yang terjadi di Jalan Palagan pada dini hari itu tidak sekadar mencatat sebuah kecelakaan lalu lintas. Dalam suasana yang sunyi, kematian Argo menjadi simbol dari suatu penimbangan: antara tubuh yang remuk dan kendaraan yang mewah, antara nilai manusia dan nilai materi. Manakah yang lebih Tuhan cintai? Merujuk pada pemikiran Hans Kelsen, hak individu atas hidup merupakan kewajiban hukum bagi orang lain untuk tidak melanggar atau menghalanginya. Maka, ketika hak tersebut diabaikan atau dilanggar, sebagai konsekuensi: masyarakat harus belajar dari kejadian tersebut. Mirip seperti prinsip? "Jurisprudence." Dalam konteks ini, kematian Argo mencerminkan kegagalan sistem hukum dalam menegakkan kewajiban pihak lain untuk melindungi positivismenya. Kealpa...

Obituari Argo Ericko Achfandi Lewat Pandangan Dewi Justitia dan Devi Zalim

Maka di hari kematianmu, kami berdiri di hadapanmu, Argo Ericko Achfandi, dengan mata tertutup dan pedang tertancap di bumi yang tak kau pijak lagi. Kami ingin namamu sejati terukir dalam sidang terakhir. Jika memang ini adalah jalan yang terbaik, jangan lupa kabarkan kami seberapa berharga karangan bungamu di alam baka? Berapa harganya? Bagaimanakah kualitasnya dibandingkan yang di bumi? Di jalan Palagan, senyampang senyap ketika tubuhmu terbaring diam, Tuhan sedang menimbang antara mobil dengan polusi termahal semuka bumi dan sepeda motormu yang remuk. Manakah yang lebih Ia sayangi? Yang akhirnya terpilih untuk duduk disamping-Nya? Betapa polosnya tangan itu, nadimu yang berdenyut kaku, tidakkah dirimu merasakan takut? Dengan segala hormatku, dalam terang Tuan Kelsen, hak yang kau miliki atas hidupmu adalah kewajiban hukum yang dipikul oleh orang lain untuk tidak melukaimu. Aku akan menggantikannya bagimu di alam baka. Remukmu itu juga sebagian dari remuknya hukum yang gagal kuperjua...

Genji Kensleinch

Ketika lonceng malam berdentum tiga kali, di ujung barat kota, tempat reruntuhan istana tak lagi dijaga tentara; aku bangun. Sudah waktunya aku berbicara dengan sunyi. Sudah waktunya aku menyapa diriku yang tak lagi kuingat. Adapun dahulu kala, di tempat yang tak dimaktubkan dalam peta, aku dilahirkan dari silsilah yang terlalu rumit untuk dibaca. Namaku Genji Kensleinch, pewaris gelar yang kini hanya mengisi catatan kelurahan dan sebutir cap dalam buku warisan. Aku tak lagi tahu, apakah aku putra atau sekadar hantu dalam parade bangsawan yang terhapus dari sistem data negara. Aku ingin bilang kalau... Struktur keluargaku telah hancur pasca perang nuklir... Ya! Sudah lama, maka sekarang sebagai sisanya: dihiasi gemerlap perjanjian dagang, perjamuan antar-militer, dan siaran langsung yang menyamarkan kehancuran sebagai statistik. Hasilnya, kotaku sekarang dijatuhi lebih banyak kebijakan daripada peluru. Mungkin, ya, karena ingin menghindari pemberontakan seperti itu? Jadinya aturan lebi...

Asterlayna Raespati

Maka terbangunlah fajar di atas pucuk menara jade, dan burung-burung perak berkicau mungkinkah untukku? Asterlayna Raespati, putri dari takhta yang sunyi, bunga dari pohon yang tidak berbuah. Begitulah namaku diguratkan di atas batu giok dan ditatah pada lonceng kerajaan. Tapi siapa yang tahu, bahwa nama itu pun terukir karena aku? Tak punya siapa-siapa selain diriku... Di halaman dalam, dayang menyiapkan teh dari bunga mei yang dipetik saat embun pertama jatuh. Terkadang aku bertanya, aku berempati kepada mereka, seberapa banyak rakyatku yang tidak bisa menikmati teh ini? Mereka tidak seperti diriku. Entah apa yang bisa aku lakukan selain merintih dalam diam. Sungguh aku yakin, wahai tuan dan nona, harga ikan di pasar selalu naik tiap bulannya. Tidakkah kamu juga merasakannya? Dan di antara semuanya, keringat mereka yang bekerja, rasanya ikut menggantung di antara garam dan asin pada dagingnya.  Ataukah mereka? Sedang digrosir hanya untuk mengukir takhtaku selama ini? Aku tidak sa...